Majalah Teknik Konstruksi.Com – Edisi April 2022
Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia (ASTAKI)
Tenaga Kerja Konstruksi Terampil dan Berlegalitas Dalam Filosofi Pembinaan Astaki.
Dalam prosesnya menuju terakreditasi, Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia (Astaki) dalam kepengurusannya periode ini tak pernah lelah untuk terus mendampingi anggota dan calon anggota barunya, menjawab dinamika tantangan sistem digitalisasi di sektor konstruksi. Lebih dari itu, penanaman integritas dan kode etik untuk berlaku profesional dan jujur adalah falsafah penting yang sekaligus menjadi kekuatan Astaki selama ini. Dalam pandangan Astaki, dewasa ini terbentang tiga tantangan utama yang harus disikapi sebagai perhimpunan para tenaga ahli konstruksi di Indonesia.
Bambang Tri Sukmono selaku Ketua Umum Astaki menjabarkan, Pertama, meningkatnya kegiatan infrastruktur di Indonesia, menurut program jangka menengah dari Bappenas hingga 2024 mencapai nilai investasi sebesar 700 miliar dolar, belum termasuk untuk proyek Ibukota baru. Kedua, banyak sekali perbuatan para pelaku konstruksi yang tidak terpuji, sebut Bambang, ada korupsi, suap dan kepentingan kelompok lainnya, ini menjadi keprihatinan kita. Untuk itu Astaki harus berintegritas dan beretika dan guna mencapai itu, setiap kali pelatihan materi ini yang selalu diberikan. “Coba saja, bisa dilihat sendiri sekarang sudah memasuki dinas-dinas Kementerian yang telah terjadi di banyak daerah dan berujung pada bui,” jelas Bambang. Ketiga, lanjut Bambang, kita ini hidup di daerah bencana maka pembangunan infrastruktur harus memperhatikan wilayah bencana. Hal ini yang perlu diperhatikan lebih lagi,bagaimana kelayakan dan keselamatan pada proyek infrastruktur seperti bendungan, misalkan saja, yang harus dibangun di daerah gempa atau potensi longsor.
Oleh karena itu, Astaki menghimpun para tenaga ahli konstruksi yang tergabung keanggotaan untuk menjadi sensitif terhadap ketiga tantangan tersebut. Besarnya proyek pembangunan infrastruktur jelas membutuhkan sumber daya manusia (SDM), maka muncullah aturan yang mengharus bersertifikat SDM-nya. Jika ini tidak siap maka tenaga asing akan masuk, itu yang kurang disadari dan kita harus percepat. Kita harus membina dengan segera tenaga kerja yang kompeten dan memiliki legalitas. Menurut perhitungan Kementerian PUPR, untuk setiap 1 triliun investasi dibutuhkan 14.000 tenaga kerja. “Coba kalau dihitung totalnya membutuhkan berapa besar tenaga kerja konstruksi kita, kalau proses Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi menyulitkan – kita akan kesulitan sendiri dan akan masuk tenaga asing,” ujar Bambang. Menurutnya, tidak seperti dulu dengan peraturan yang ada sekarang ini akan sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat. Bagi Astaki, sertifikasi itu filosofinya adalah pembinaan bukan mempersulit, sertifikasi diberikan sembari dibina, maka asosiasi itulah yang membina.
Inilah konsep pembinaan dan bukan konsep mempersulit, ujarnya, semestinya semua harus berpikir lebih luas lagi dan jangan berpikir sempit. Niat pemerintah mungkin baik, untuk mencapai dan mendapatkan tenaga kerja konstruksi yang terampil. Namun, bila tidak dipahami spirit-nya oleh para pelaksana di bawahnya maka akan kesulitan kita untuk mendapatkan jumlah tenaga kerja konstruksi, yang akan mengisi proyek kontruksi yang ada.Jika kenyataannya menyulitkan dan pemenuhannya tidak terpenuhi, maka tenaga kerja asinglah yang bisa masuk. “Maksudnya bagus tapi jangan kaku, Undang Undang yang ada seharusnya dibaca dan dipahami akan spirit-nya, bukan hanya sebatas aturan-aturannya,” tegasnya. Pertimbangan lainnya, menurut Bambang, peraturan baru ini berlaku secara nasional padahal sebagai negara besar seharusnya bisa di klasifikasikan – bagaimana dengan SDM perkotaan, pedesaan, atau bahkan pedalaman, ini yang harus dibedakan ataupun menjadi pertimbangan. Dengan banyaknya permasalahan seperti ini dan masukan-masukan yang ada, Astaki mengharapkan akan terjadi evaluasi kembali, agar bisa lebih dipermudah dengan catatan tidak menghilangkan esensinya, yaitu mencapai tenaga kerja konstruksi yang terampil dengan legalitas.
Saat yang bersamaan, Zainal Arifin, Sekjen Astaki mengungkapkan, dari UUJK 2/2017 sebagaimana diubah menjadi UUCK 11/2020, harus diakui bahwa sebelum peraturan yang baru ini berlaku terdapat banyak permasalahan, maka rambu-rambu baru ini dibuat agar orang yang memiliki sertifikat memang benar-benar memiliki keahlian dibidangnya. Zainal mencontohkan, sebelumnya banyak SDM yang tidak ahli di bidangnya (teknik) tetapi karena memiliki ijazah dari lembaga pendidikan bisa langsung mendapatkan sertifikat. Padahal dari selesai sekolah, SDM tersebut menggeluti bidang lain. Contoh baik lainnya, dari peraturan baru ini, adalah kemudahan bagi banyak tenaga kerja konstruksi yang sebenarnya tidak berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi mempunyai pengalaman panjang dan menguasai bidang teknik dan sekarang sudah bisa untuk mendapatkan SKK melalui tahapan pengujian, tentunya. “Begitu juga untuk Badan Usaha yang dulunya harus memiliki ISO, yang tentu saja sulit dan mahal sekarang lebih dipermudah,” jelas Zainal.
Namun demikian, saat masih terbatasnya asosiasi-asosiasi konstruksi yang terakreditasi dan membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi maupun Lembaga Sertifikasi Badan Usaha, rasanya masih sangat jauh dari apa yang ditargetkan pemerintah untuk pemenuhan jumlah tenaga kerja konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi, sebagai syarat kerja proyek infrastruktur di negerinya sendiri.
Astaki berdiri tahun 2009 bulan 9 tanggal 9. Pendirinya Mory Syukur, seorang yang aktif di LPJK dan keorganisasian lainnya, sejak tahun 2009 itu telah 3 kali pergantian ketua umum. Di tahun 2017, Bambang terpilih sebagai Ketua Umum dan Zainal sebagai Sekjen, dari masa itu Astaki mulai mengajukan untuk mendapatkan Surat Keputusan dari LPJK, dan mulailah berkiprah hingga sekarang.
Dalam prosesnya untuk mendapatkan surat tanda terakreditasi dan membentuk LSBU bagi Asosiasi Badan Usaha dan LSP bagi Asosiasi Profesi, Astaki telah memilih tema sertifikasi bidang Manajemen Pelaksana nantinya. Dari bidang Manajemen Pelaksana ini nantinya akan ada jabatan-jabatan kerja lainnya, yang dulu disebutnya sub bidang, seperti Manajemen Proyek Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi K3, dan Manajemen Mutu. Orientasi bidang Manajemen Pelaksana ini, juga didasari dari kepengurusan di Astaki sendiri yang kebanyakan dari ahli di bidang K3 konstruksi. Pertimbangan Kedua, dari jumlah keanggotaan yang telah Astaki pernah terbitkan sertifikasinya kebanyakan juga untuk Sertifikasi Manajemen K3 Konstruksi, selain tentunya juga sipil seperti untuk bangunan gedung dan jalan. Menurut Zainal, Astaki ingin menjadi asosiasi yang terbuka bisa kembali bekerja sama dengan siapapun untuk mendapatkan anggota yang banyak. Salah satunya yang tengah dijajaki bekerjasama Gunanusa – korporasi yang menaungi beberapa perusahaan termasuk diantaranya penerbitan sertifikasi Manajemen K3 yang berada di Kemenaker. Sehingga, akan membuka pasar yang cukup luas. Gunanusa juga dikenal baik di lingkungan Manajemen K3 di sektor Minyak dan Gas bumi.
Manajemen K3 Konstruksi, khususnya di sektor infrastruktur akan sangat menantang, melihat belakangan ini kasus kecelakaan kerja memang cukup tinggi.Tak heran, mengingat dulu itu saat lelang/tender di Kementerian memang tidak ada ketentuan akan K3. K3 tidak ada dalam anggaran rencana biaya. Namun, sekarang ini telah berubah, K3 menjadi poin yang sangat penting. Setelah banyaknya kecelakaan kerja konstruksi, sekarang sudah ditentukan anggaran biaya untuk K3 konstruksi. Salah satunya, harus disiapkan sistem manajemen konstruksi K3 semacam manual book pada Rencana Kerja Konstruksi. Pengalaman panjang Zainal dan para pengurus Astaki lainnya di oil company inilah, yang akan diterapkan di bidang infrastruktur, mengingat begitu disiplinnya K3 di sektor Migas selama ini. Menjadi kesadaran bahwa membangun infrastruktur itu, benar-benar harus diawasi. Menjadi tugas pengawas lah, semua ketentuan itu harus diikuti. Semua kembali kepada manusianya, ujarnya, setiap kali awal pelatihan harus diawali dengan etika, ini akan bekerja baik pada proyek. Jika terlihat ada kelalaian, tidak safety, maka harus dihentikan.
Keberhasilan proyek infrastruktur akan sangat bergantung juga kepada pengawasan, akan berujung kepada kualitas bangunan. Inilah yang menjadi sinkron tadi, atas penegasan sebuah integritas. Zainal yang memiliki pengalaman di oil company lebih dari 30 tahun, paham benar bagaimana cara pengawasan yang baik. Pengawas harus memiliki pengetahuan dan menguasai keilmuan yang baik secara keseluruhan, karena berhubungan dengan Manajemen Mutu. Ia mencontohkan, setiap barang material yang akan digunakan harus terdaftar terlebih dahulu oleh pengawas. Sebelum material digunakan harus diperiksa dahulu spesifikasinya dan kelengkapan dokumen. “Kalaupun ada material yang harus diganti sepanjang mutunya sesuai dengan spesifikasi atau setara dengan spesifikasi, maka diperbolehkan dengan memberikan alasan atau catatan,” katanya.
Hal ini sudah cukup berjalan di proyek-proyek infrastruktur, banyak juga kontraktor yang mulai mengeluh kalau pengawasnya menjadi sangat disiplin, tidak seperti dulu. Dan semua demi kebaikan bersama, dan kemajuan dunia konstruksi Indonesia apalagi dalam pengawasan sekarang ini yang sudah akrab dengan sistem audit, dan menjadi pertanggungjawabkan kepada aparat penegak hukum. Untuk sementara ini, Astaki terus bekerjasama dengan LSP sebagai program utamanya, sosialisasi untuk pendampingan anggota-anggota atau orang yang di luar anggota yang ingin melakukan sertifikasi. Sosialisasi itu penting, karena tidak semua anggota mengikuti perkembangan.Para anggota kebanyakan tahunya hanya bekerja, dan pada waktu masa SKK-nya habis baru melakukan perpanjangan. Astaki memberikan edukasi kepada anggota, bagaimana meng-input data karena sekarang semua sudah digitalisasi dan harus mereka sendiri yang mengisi datanya, semua berkaitan dengan data-data pribadi yang tidak boleh atau bisa diketahui orang lain.
Sosialisasi yang kedua, menyampaikan kepada anggota bahwa mereka harus memenuhi kewajiban SKPK atau nilai satuan kredit yang mereka harus sampaikan, jika satuan kreditnya tidak terpenuhi maka yang bersangkutan tidak bisa memperpanjang SKK-nya. Satuan kredit ini bukan hanya dihimpun dari masa kerjanya saja, namun ada tambahan-tambahan lain yang harus mereka penuhi seperti; pelatihan, seminar, karangan ilmiah. Kegiatan inilah yang mereka harus diisi di kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan.
Seminar yang diadakan Astaki mencakup bahasan inovasi terbaru juga terkait regulasi jasa konstruksi di bidang teknik bangunan gedung dan keselamatan konstruksi. Untuk pertemuan ilmiah Astaki, membahas dampak bencana alam terkait bidang teknik bangunan dan K3. Juga, program Pelatihan Peningkatan Profesi untuk Ahli Teknik Bangunan dan Ahli K3 Konstruksi, bekerjasama dengan A2K3 dan BNSP melalui Balai Latihan III Jakarta. Untuk program Pendidikan, meningkatkan dan mengembangkan potensi kerja, produktivitas dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian melakukan pelatihan dan pengujian di bidang teknik bangunan gedung dan K3, yang dulunya pekerja hanya bekerja saja dan tidak peduli dengan hal-hal lain, sekarang tidak bisa lagi karena setiap kegiatan yang mereka lakukan harus dicantumkan atau di laporkan, maka harus aktif.
“Ini menjadi mutlak pada akhirnya, bisa saja sang pekerja tidak membutuhkan sertifikasinya namun sertifikasi dibutuhkan oleh perusahaan tempatnya bekerja,” jelas Zainal. Dan ini pun, pada kenyataannya masih sangat minim awarness atau kepedulian dari para pekerja. Banyak yang legalitasnya sudah tidak aktif, dan banyak yang tidak mengetahuinya. Hal ini yang dimintakan oleh LPJK kepada semua asosiasi untuk aktif, karena masih jauh dari target yang diharapkan pemerintah. Dampaknya mungkin belum terasa bagi para tenaga kerja konstruksi kita, tapi nanti lima tahun ke depan mereka harus bersaing dengan tenaga kerja asing di negeri dan proyeknya sendiri.[].