Majalah Teknik Konstruksi.Com – PROFIL DR. Harya Muldianto, ST, MT.
‘Punggawa’ Bidang Air Untuk Ibu Kota Negara Baru
Sebuah kehormatan dan kebanggaan terbesar bagi Harya Muldianto, ST, MT., saat diamanahkan sebagai Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Bagaimana tidak? Bila nantinya wilayah yang dikepalainya saat ini, bakal menjadi bagian wilayah Ibu Kota Negara baru, bagi negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, Harya Muldianto, ST, MT., akan tercatat sebagai ‘Punggawa’ yang mempersiapkan infrastruktur sumber daya air untuk kelangsungan sebuah Ibu Kota Negara baru, yang bukan hanya premium untuk sebuah simbol negara. Namun, lebih dari itu yakni ‘Best of The Best’.
Sudah menjadi garis hidup bagi pria yang lahir di Jakarta tahun 1969 ini, untuk mengabdi sepenuhnya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Harya Muldianto adalah gambaran ‘Trah PU’, dari kecil sudah hidup di lingkungan Pengairan – sebutan sebelum berganti menjadi Sumber Daya Air. Orang tuanya adalah mantan pegawai PU juga di bidang pengairan, dan tinggal di Komplek PU Pengairan di Jakarta. Komplek pemukiman yang sebagian besar warganya mengabdikan hidupnya pada bidang Sumber Daya Air. Dari sini pulalah, terbentuk keinginan bagi Harya Muldianto sejak lulus SMA, untuk meneruskan jejak sang Ayah.
Harya Muldianto ingin mendalami bidang Teknik Sipil, meskipun bukan bidang teknik yang spesifik pada Pengairan. Teknik Sipil yang ilmunya masih umum. Ia berhasil masuk di Politeknik Universitas Indonesia, tahun 1988, dan lulus pada tahun 1991. Setelah lulus kuliah D3 Politeknik, Harya Muldianto sempat bekerja di perusahaan swasta selama satu setengah tahun. Kemudian ia melanjutkan kuliah Strata 1-nya di Universitas Brawijaya, Malang, jurusan Teknik Sipil pada tahun 1993 dan lulus tahun 1996. Lulus sebagai Insinyur, Harya Muldianto, ST. , melanjutkan bekerja di perusahaan swasta lagi dengan cakupan wilayah kerja di Jakarta, Tangerang dan Karawang.
Tahun 1997 akhir momentum Harya Muldianto, ST., melamar di Departemen PU, Direktorat Jenderal Pengairan. Ia diterima sebagai tenaga honorer dan bekerja di Direktorat Pembinaan Pelaksanaan Wilayah Timur mulai bulan Oktober di tahun yang sama tersebut. Dua tahun berselang, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1999. Di tahun 2001 bulan November ditugaskan ke Nusa Tenggara Barat, pada saat itu ke Proyek Pengembangan Konservasi Sumber Daya Air (PKSA) Sumbawa. Ia diberi amanah sebagai Kepala Urusan Program, berada di bawah Asisten Perencanaan. Tahun 2002, terjadi peleburan Proyek PKSA Sumbawa dan PKSA Lombok menjadi satu. Peleburan ini kemudian namanya menjadi Proyek Pengembangan Konservasi Sumber Daya Air (PKSA) Nusa Tenggara Barat.
Pada tahun 2005, Harya Muldianto, ST., menjadi Asisten Perencanaan di PKSA Nusa Tenggara Barat. Kegiatannya mencakup perencanaan dan program untuk pembanguan waduk dan bendungan. Pada tahun 2004, ia melanjutkan pendidikan Strata 2- nya jurusan Manajemen Rekayasa Konstruksi di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. Kuliah jarak jauh, saat adanya program kerjasama antara Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat dengan universitas di Semarang tersebut, lulus tahun 2005.
Pada tahun 2007 mulai terbentuk Balai Wilayah Sungai, Harya Muldianto, ST, MT. tergabung di Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I, Provinsi NTB. “Saya mulai bertugas sebagai Pelaksana Teknik Perencanaan” kenangnya. Di Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I tersebut sampai dengan Juni 2009. Jabatannya sebagai Pelaksana Teknik Perencanaan sekaligus merangkap sebagai Koordinator Bidang Program. “Di struktur PPK sebagai Pelaksana Teknik, sementara di Seksi sebagai Koordinator Program, di bawah Kepala Seksi Perencanaan,” ujarnya.
Harya Muldianto , ST, MT mulai ditugaskan di Jakarta pada Juli 2009, sebagai Kepala Seksi Perencanaan dan Program di Balai Bendungan, Pasar Jumat, Jakarta, ketika itu. Saat ini namanya menjadi Balai Teknik Bendungan bertugas sampai akhir tahun 2010.
Awal Januari 2011, ia ditugaskan sebagai PPK Pelaksanaan di Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pembangunan Waduk Jatigede, menangani pelaksanaan konstruksi Bendungan Jatigede. Menjadi PPK pelaksanaan sampai dengan Februari 2016.
#Kepala SNVT Pembangunan Bendungan BBWS Cimanuk Ciasanggarung#.
Bulan Maret masih di tahun 2016, Harya Muldianto ST, MT diangkat sebagai Kepala SNVT (Satker) Pembangunan Bendungan di Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung. Ketika itu, menangani dua bendungan, dan persiapan untuk pembangunan Bendungan Cipanas.
“Jadi saat itu, ada tiga bendungan yang saya pegang, Bendungan Jatigede, Bendungan Kuningan dan persiapan Bendungan Cipanas,” ujarnya. Bertugas di BBWS Cimanuk Cisanggarung sampai dengan 2018. Akhir 2018, ia diangkat sebagai Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan di BBWS Cimanuk Cisanggarung sampai dengan Agustus 2019.Namun, dari semua lokasi penugasan, menurutnya tantangan terbesar saat menjadi PPK di BBWS Cimanuk Cisanggarung karena menangani Waduk Jatigede, yang merupakan pembangunan bendungan terbesar setelah era reformasi. Sebelumnya, yang terbesar adalah Bendungan Jatiluhur. Di sanalah, tantangan yang ia hadapi untuk bisa mengimplementasikan pengetahuan dan pengalamannya, selama mengemban tugas selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembangunan Bendungan Jati Gede. Baginya, yang dapat dipelajari ternyata bukan melulu urusan teknik. Juga, ada hal nonteknik yang harus diselesaikannya. Seperti proses pembebasan lahan dengan merelokasi penduduk.
Mengingat proses pembangunan Waduk Jatigede itu, sudah sangat lama sejak tahun 80-an. Kalau dari sisi perencanaan, bahkan sudah dimulai dari tahun 1960-an zaman Presiden Soekarno. Pembebasan tanah tahun 1980-an, sementara konstruksi baru dimulai di tahun 2007. Maka ada gap yang sangat jauh, penduduk yang ada di sana mungkin sudah generasi kedua ataupun ketiga, yang sangat mungkin mereka mendapatkan informasi yang tidak penuh dan sepotong-sepotong dari orang tuanya atau kakek neneknya tentang proses pembebasan tanahnya. Ketika Harya mulai berada di pembangunan Waduk Jatigede, beberapa orang masyarakat di sana menyatakan belum mendapatkan ganti rugi apapun.
“Memang benar mereka tidak menerima, karena yang menerima itu orang tuanya atau kakek neneknya dahulu. Hal seperti ini, yang harus bisa kami berikan informasi atau pemahaman kepada mereka,” ungkapnya. Dan syukurnya, data-data yang ada di ‘PU’ sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2004-2007, sangat lengkap. Jadi bukti-bukti pembayaran itupun juga masih ada. Sehingga, tim pembebasan lahan tidak kesulitan untuk memberikan bukti-bukti kepada mereka, bahwa proses pembebasan tanah dan pembayaran ganti rugi sudah pernah dilakukan.
Hal itulah, yang memerlukan effort lebih karena menyangkut masalah sosial, yang umumnya tidak ada di sekolah karena selain dibutuhkan keahlian juga keberanian untuk menjelaskan bukti-bukti, dan yang jelas tekanan-tekanan itu pasti ada. Terpenting baginya, tetap bergerak dengan koridor aturan-aturan hukum yang ada. “Demo seminggu sekali sampai menghentikan pekerjaan, dan yang terakhir tahun 2013 proyek berhenti sampai dengan 40 hari. Ini kondisi yang cukup berat, karena kami disurati oleh kontraktor karena selama 40 hari itu kontraktor tidak bisa bekerja,” ungkapnya. Peralatan dan manpower-nya tetap harus dibayar, dari sisi keuangan sangat rugi. Peralatan yang dimiliki dan disewa tidak menjadi produktif, karena tidak menghasilkan pekerjaan. Ia pun melakukan pendekatan personal, mengajak untuk bicara karena semua yang terjadi di luar kekuasaan kami semua. Kontraktor pun paham dan tidak ada klaim di situ. “Alhamdulillah, tantangan terbesar di pembangunan Waduk Jatigede bisa terselesaikan. Meskipun belum keseluruhan, tetapi yang paling penting adalah perjalanan terberatnya sudah terlalui, berikutnya tinggal meneruskan saja,” ucapnya bersyukur.
# Kepala BWS Maluku Utara #
‘Tantangan Alamnya’
Perjalanannya sebagai Kepala Balai dimulai pada September 2019, saat Harya Muldianto ST, MT ditugaskan sebagai Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku Utara. Hingga akhir tugasnya Juni 2020, baginya Maluku Utara adalah salah satu daerah yang sangat eksotik dan potensial. Menurutnya, Wilayah Timur adalah wilayah yang sebenarnya cukup baik, untuk pengembangan kerja di bidang sumber daya air. Belum banyak yang terambah pengembangan sumber daya airnya, artinya masih banyak ‘PR’ (pekerjaan) untuk wilayah timur. Di sana sudah banyak masyarakat yang menghuni, dan mereka mengandalkan air untuk mengolah lahan. Sedangkan infrastruktur sumber daya airnya belum optimal. “Banyak pulau-pulau kecil dan sumber daya airnya sangat terbatas. Ini menjadi tantangan kita, bagaimana bisa memaksimalkan dan mengoptimalkan sumber air yang ada, untuk dapat dimanfaatkan bagi masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, adalah tantangan alamnya. Maluku Utara berada di titik Ring of Fire Indonesia. Kepulauan Maluku Utara merupakan wilayah yang dikategorikan dalam Ring Of Fire (Cincin Api). Hal ini dikarenakan Kepulauan Maluku Utara menjadi tempat pertemuan tiga lempeng dunia, disamping kondisi geografis yang terdiri dari pula-pulau kecil. Gempa yang cukup sering, minimal seminggu sekali terjadi gempa di Maluku Utara. Sempat juga ia merasakan gempa yang cukup besar, saat bertugas di sana.
Untuk pembangunan bendungan baru ketika ia masih di Maluku Utara, baru tahap inisiasi dan Feasibility Study untuk Bendungan Wairoro, Halmahera Tengah. Ia menjelaskan, sumber air yang cukup besar adanya di Halmahera. Itu sebabnya, irigasi yang cukup baik adanya di sana. “Sedangkan untuk pulau-pulau kecil lainnya seperti Ternate dan Tidore sumber daya air yang dikembangkan adalah untuk air baku, dan yang dibutuhkan adalah kemampuan rekayasa untuk menghasilkan air baku tersebut, karena karakteristiknya berbeda-beda,” ungkapnya.
Begitu juga daerah-daerah wisata dan industri, seperti di Bendungan Wairoro yang dibutuhkan adalah peningkatan sumber air baku. Sembilan bulan di Maluku Utara, diakuinya memang belum bisa maksimal dalam memberikan kontribusi untuk pengembangan sumber daya air di sana. Namun demikian, dari sembilan bulan itu cukup banyak yang Harya Muldianto ST, MT bisa kerjakan. Seperti, inisiasi maupun pembangunan Embung. Juga pembangunan untuk menangkal abrasi pantai yaitu pengerjaan Breakwater. Selain itu, ia juga menyelesaikan pembangunan Sabodam di Pulau Ternate untuk mengantisipasi dampak-dampak dari aktivitas Gunung Gamalama. Pembuatan sumur-sumur bor air tanah di Ternate dan Morotai. Menyelesaikan bendung dan jaringan irigasi, yang perlu dikembangkan di Pulau Halmahera.
# Kepala BWS Kalimantan IV #
‘Tantangan untuk Ibukota Negara Baru’
Banyaknya pekerjaan-pekerjaan yang ia bisa optimalkan dalam waktu pendek di Maluku Utara, membawa Harya Muldianto ST, MT. pada amanah baru. Akhir bulan Juni 2020, dirinya dilantik sebagai Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III (saat itu) yang mengelola Wilayah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Bulan Maret 2021, BWS Kalimantan III berubah menjadi BWS Kalimantan IV, dengan adanya penyusunan ulang nomenklatur, BWS di Kalimantan Timur ini menjadi BWS Kalimantan IV. Saat itu ada tambahan tiga Balai baru di Kalimantan.
“Saat saya masuk, BWS Kalimantan I itu Pontianak Kalbar, BWS Kalimantan II KalSel, BWS Kalimantan III KalTim, BWS Kalimantan IV Kalteng, dan BWS Kalimantan V Kaltara. Kemudian awal 2021, agar berurutan disusun ulang BWS Kalimantan I tetap Kalbar, BWS Kalimantan II itu Kalteng, BWS Kalimantan III itu Kalsel, BWS Kalimantan IV itu Kaltim, dan BWS Kalimantan V itu Kaltara,” jelasnya. Di Kalimantan Timur ini, Harya Muldianto ST, MT. juga mendapatkan tanggung jawab yang sangat besar, dalam rangka menyiapkan Ibu Kota Negara baru. Pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi tinggi, juga tantangan yang sangat besar. Balai-balai Kementerian PUPR di Kalimantan Timur ini nantinya, akan menjadi pionir dalam membangun sebuah Ibu Kota Negara. “Hal itu, salah satu kehormatan dan kebanggaan bagi kami, terutama saya. Dengan kata lain, kami inilah yang memulai untuk membangun suatu Ibu Kota Negara baru. Jadi tantangannya, adalah kami harus bisa memberikan yang terbaik untuk sebuah Ibu Kota Negara. Ini adalah simbol negara, kami tidak ingin mengecewakan semua pihak dan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kami akan melaksanakan tugas semaksimal mungkin,” tegasnya.
Pencapaiannya hingga saat ini, merupakan hasil dari cara kerjanya yang selalu menganggap setiap ditempatkan di manapun, berusaha untuk bisa menikmatinya dan menarik pembelajaran. Ia menceritakan, dulu saat ditempatkan di Nusa Tenggara Barat sumber daya airnya sudah cukup maju dan ia banyak belajar dari sana. “Terutama, karena saya dari awal berkecimpungnya di waduk atau bendungan, juga tampungan-tampungan air seperti halnya embung. Itulah yang membentuk keahlian saya di bidang sumber daya air. Seperti halnya di NTB, saya mulai mempelajari tentang bendungan. Kemudian, masuk ke Balai Bendungan yang jelas khusus untuk waduk. Menangani kajian-kajian teknik ataupun melakukan evaluasi- evaluasi teknik di bidang bendungan,” jelasnya.
# Tradisi Keluarga Ilmu Teknik Sipil#
Kerja keras Harya Muldianto, mulai dari Bendungan Jatigede sebagai bendungan terbesar setelah era reformasi di Indonesia, hingga pembangunan Bendungan Sepaku Semoi mempersiapkan penyediaan air baku untuk Ibu Kota Negara baru di Kalimantan Timur, yang nantinya bisa dengan bangga ia ceritakan pada anak-cucunya akan arti berkarya. Terlebih lagi, putranya yang pertama mewarisi tradisi keluarga Ilmu Teknik Sipil. Kini sedang menyelesaikan kuliah di Universitas Brawijaya, Malang dan mengambil jurusan Teknik Sipil juga telah memasuki Semester 6. ”Namun, anak pertama kami itu juga senang dengan bidang IT karena saat ini memang zamannya,” ucapnya.
Harya Muldianto menikah pada tahun 2000, istrinya pun seorang insinyur. Satu pendidikan di Universitas Brawijaya, bertemu saat sedang menyelesaikan skripsi karena topik skripsinya yang sama.
Pada September 2020 lalu, Harya Muldianto menyelesaikan Strata 3- nya di Universitas Brawijaya dengan Program Studi Teknik Sipil, dengan minat Sumber Daya Air. ”Sudah menjadi keseharian, kaitannya dengan sumber daya air jadi inilah yang menjadi fokus pembelajaran,” ujarnya.
Harya Muldianto dikaruniai tiga orang anak, selain putranya yang paling besar tadi, anak perempuanya baru saja menapaki kuliah Semester II di Universitas Diponegoro, Semarang, mengambil jurusan di Fakultas Kesehatan Masyarakat. Sementara putri yang ketiga, masih di Sekolah Menengah Pertama. Cita-cita besar dalam keluarga, ia mengharapkan jika dibahasakan dalam tradisi Jawa, ingin anak-anaknya bisa mentas (berhasil) semua. Bisa mendapatkan apa yang mereka cita-citakan dalam karir dan kehidupan. “Kami sebagai orang tua, hanya bisa memberikan bekal pancing. Sementara yang menentukan hasilnya adalah buah dari kesabaran dan ketekunan mereka sendiri,” ucapnya. Harapan bersama seluruh keluarga termasuk ayahnya yang masih sehat, ia berkeinginan jika masih diberi umur, rezeki, dan kesehatan, untuk kembali berangkat haji atau umrah juga bersama keluarga. Setelah sebelumnya, ia bersama sang istri telah menunaikannya di tahun 2018.
Dalam perjalanan dan pengalaman DR. Harya Muldianto, ST, MT. sepanjang karirnya ini, harapannya masih bisa terus berlanjut mengemban tugas untuk lebih baik dan lebih bermanfaat di bidang Sumber Daya Air. Itu sebabnya, ia dalam menjalankan amanah selalu bekerja dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.[] US.